Oleh: Alfina Sari Rakhman
Sulawesi Selatan, Juni
2025 – Tuberkulosis (TBC) masih menjadi ancaman nyata dan serius bagi kesehatan
masyarakat di berbagai tingkatan, mulai dari global, nasional, hingga regional.
Berdasarkan laporan dari World Health Organization (WHO), TBC kini menempati
posisi ke-13 sebagai penyebab kematian terbesar di dunia, dan merupakan
penyakit menular paling mematikan kedua setelah COVID-19, bahkan melampaui
HIV/AIDS dalam hal jumlah kematian yang ditimbulkan (World Health Organization,
2022). Data ini menunjukkan bahwa TBC bukan hanya penyakit lama yang masih
bertahan, tetapi juga terus berkembang menjadi masalah kesehatan masyarakat
global yang kompleks.
Di tingkat nasional,
Indonesia saat ini berada di posisi kedua sebagai negara dengan jumlah kasus
TBC terbanyak di dunia. Hal ini menunjukkan bahwa beban TBC di Indonesia masih
sangat tinggi dan membutuhkan perhatian serta penanganan yang serius. Menurut
data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2023), beberapa provinsi
tercatat sebagai penyumbang kasus TBC tertinggi, termasuk DKI Jakarta, Jawa
Barat, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan. Masing-masing provinsi ini
dilaporkan mencatat lebih dari 40.000 kasus TBC dalam satu tahun, angka yang
cukup mengkhawatirkan jika tidak diimbangi dengan intervensi penanggulangan
yang kuat dan berkelanjutan.
Sementara itu, secara
regional, Provinsi Sulawesi Selatan mengalami lonjakan kasus yang signifikan
dalam kurun waktu yang relatif singkat. Berdasarkan laporan resmi dari Dinas
Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan, selama periode Januari hingga Mei 2025, telah
tercatat sebanyak 10.715 kasus TBC di wilayah tersebut. Dari jumlah tersebut,
Kota Makassar menjadi daerah dengan kasus terbanyak, yakni mencapai 3.483
pasien, menjadikannya sebagai kota dengan kontribusi tertinggi terhadap beban
TBC di Sulawesi Selatan (detikcom, 3 Juni 2025).
Data tersebut
mengindikasikan bahwa penyebaran TBC tidak hanya terkonsentrasi di daerah padat
penduduk seperti Jakarta, tetapi juga di wilayah lain termasuk kawasan timur
Indonesia. TBC bukan hanya masalah medis, tetapi juga berkaitan erat dengan
aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. Masih banyak masyarakat yang belum
teredukasi secara memadai mengenai cara penularan, pencegahan, serta pentingnya
pengobatan tuntas. Selain itu, stigma terhadap penderita TBC juga menjadi
hambatan besar dalam proses penyembuhan dan pencegahan penularan lebih lanjut.
Berbagai upaya eliminasi
TBC yang telah dilakukan pemerintah seperti perluasan akses diagnosis,
pengobatan gratis, dan kampanye kesadaran masyarakat perlu terus diperkuat.
Edukasi yang tepat, deteksi dini, serta pengobatan yang lengkap dan
berkesinambungan harus menjadi prioritas, terutama di daerah-daerah dengan
angka kasus tinggi. Selain itu, kolaborasi lintas sektor, baik dari sektor
kesehatan, pendidikan, hingga pemberdayaan masyarakat, sangat dibutuhkan untuk
mempercepat penanggulangan TBC secara menyeluruh.
Pemerintah pusat dan
daerah diharapkan dapat membangun strategi yang terintegrasi dan berkelanjutan,
guna mendukung tercapainya target eliminasi TBC nasional pada tahun 2030,
sebagaimana diamanatkan dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development
Goals/SDGs). Tanpa komitmen bersama, upaya mengakhiri epidemi TBC akan berjalan
lambat dan sulit mencapai hasil yang optimal.
Sumber:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2023). Peringati Hari Tuberkulosis Sedunia 2023, Kemenkes Perkuat Komitmen Eliminasi TBC. Retrieved from https://kemkes.go.id/id/47510
detikcom. (2025, June 3). Kasus TBC di Sulsel Tembus 10.715 hingga Mei 2025, Makassar Tertinggi. Retrieved from https://www.detik.com/sulsel/berita/d-7928112/kasus-tbc-di-sulsel-tembus-10-715-hingga-mei-2025-makassar-tertinggi/amp
0 Komentar