Oleh: Nur Winda (Awardee PBSB Tahun 2022)
Samata, 12 Juni 2025 — Sistem pendidikan berbasis asrama seperti pesantren menjadikan peran pengasuh tidak hanya terbatas pada pengawasan dan penegakan kedisiplinan. Mereka sering kali menjadi figur orang tua kedua bagi para santri, sebagai penyambung rindu akan keluarga, tempat perlindungan emosional, sekaligus pendamping dalam proses pembentukan karakter dan spiritualitas. Namun, peran yang sarat nilai ini menyimpan sisi lain yang jarang disorot, yakni potensi kelelahan emosional yang berkelanjutan atau dalam istilah psikologi disebut parental burnout.
Parental burnout merupakan kondisi kehabisan energi psikis
akibat tekanan pengasuhan yang berlangsung intens, kronis, dan minim dukungan
sosial. Berbeda dengan kelelahan biasa, burnout ini berdampak pada
menurunnya kapasitas afeksi, empati, serta keterlibatan emosional pengasuh
terhadap anak-anak yang diasuh. Di pesantren, pengasuhan mencakup
puluhan hingga ratusan santri sekaligus, dengan
dinamika psikologis yang kompleks dan usia perkembangan yang menantang.
Burnout di Tengah Spirit Pengabdian
Survei
internasional yang melibatkan 42 negara menunjukkan bahwa sekitar 5–9% orang
tua mengalami parental burnout (Bella Yugi Fazny, 2021).
Sementara itu, penelitian lain di Indonesia menemukan bahwa 64% orang tua
berada pada tingkat burnout sedang dan 15% berada pada tingkat tinggi (Riana Sahrani, 2024). Meskipun data ini berasal dari
konteks keluarga inti, kekhawatiran yang sama patut diperluas ke lingkungan
pesantren, mengingat intensitas dan kompleksitas pengasuhan yang tidak kalah
tinggi. Sayangnya, dalam banyak institusi pesantren, pengakuan terhadap
kelelahan emosional ini masih dianggap tabu, bahkan sering dinilai sebagai
kelemahan spiritual yang tidak pantas untuk diungkapkan.
Budaya
pengabdian dalam pesantren seringkali mengidealkan keikhlasan dan ketahanan tanpa
batas. Letih sering dianggap sebagai hal lumrah dan keluhan terkadang
dipandang sebagai kurangnya keikhlasan atau kekuatan iman. Akibatnya, pengasuh cenderung menyembunyikan
kelelahan di balik ekspresi yang tetap tenang dan senyum yang dipaksakan.
Padahal, ketegangan psikis yang berlarut dapat berujung pada disfungsi
pengasuhan, burnout berkepanjangan, bahkan gangguan kesehatan mental.
Antara Idealisme
dan Realitas Kesehatan Mental
Islam
sendiri tidak pernah menuntut pengabdian tanpa batas hingga mengabaikan keseimbangan
jiwa dan raga. Rasulullah menganjurkan istirahat, kontemplasi, dan kasih sayang
terhadap diri sendiri. Prinsip laa yukallifullahu nafsan illa wus‘ahaa,
Allah tidak membebani jiwa di luar kemampuannya seharusnya menjadi pijakan
dalam merancang sistem kerja dan pendampingan terhadap para pengasuh di
pesantren.
Kini saatnya lembaga pendidikan berbasis asrama melakukan reorientasi terhadap kebijakan dan tata kelola pengasuhan, demi masa depan pesantren yang lebih sehat dan berdaya. Upaya yang dapat ditempuh antara lain mencakup penyediaan pelatihan pengelolaan emosi dan stres, akses berkala terhadap layanan konseling psikologis, penguatan forum dukungan sesama pengasuh, serta peninjauan ulang beban kerja agar lebih proporsional dan sesuai dengan kapasitas manusiawi. Langkah-langkah ini tidak hanya berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan pengasuh, tetapi juga berpotensi memperkuat kualitas relasi dan pengasuhan yang diberikan kepada para santri secara berkelanjutan.
Menjaga kesehatan emosional para pengasuh bukanlah bentuk kemewahan, tetapi kebutuhan esensial dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang sehat dan berkelanjutan. Sebab jiwa yang lelah tidak akan mampu terus-menerus menjadi sumber cahaya bagi jiwa yang lain. Jika pesantren ingin tetap menjadi ruang tumbuh yang penuh makna bagi generasi muda, maka suara-suara sunyi dari para pengasuh harus mulai diberi ruang untuk didengar, dipahami, dan diperjuangkan.
0 Komentar