Baru

6/recent/ticker-posts

Kalau AI Bisa Segalanya, Apa yang Masih Jadi Tugas Manusia?

 


Di era digital saat ini, kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) telah mengubah lanskap kehidupan manusia secara drastis. Banyak pekerjaan yang dulunya memerlukan waktu berjam-jam kini dapat diselesaikan dalam hitungan menit. AI mampu menulis esai dengan gaya yang beragam, menjawab soal ujian dengan tingkat akurasi tinggi, bahkan membantu menyusun proposal penelitian yang kompleks. Segalanya terasa begitu cepat, instan, dan nyaris tanpa memerlukan usaha besar dari manusia. Bahkan dalam proses penulisan artikel ini, AI turut berperan dalam penentuan topik dan struktur penulisan. Fenomena ini kemudian memunculkan pertanyaan mendasar yang patut kita renungkan bersama: jika AI dapat melakukan hampir segalanya, apa yang sebenarnya masih menjadi tugas dan tanggung jawab manusia yang tersisa?

Sering kali, kita terlalu terpesona oleh kecanggihan teknologi hingga lupa akan dampak sampingannya. Tanpa sadar, kemudahan akses informasi justru membuat kita semakin mudah terdistraksi. Satu tab browser membuka ChatGPT untuk mengerjakan tugas, sementara tab lainnya terbuka TikTok yang menampilkan video-video pendek yang menarik perhatian. Niat awal untuk membaca e-book atau jurnal akademik seringkali terganggu oleh notifikasi Instagram yang terus berdatangan. Yang lebih ironis lagi, ketika sudah berniat serius menyelesaikan tugas kuliah, kita malah teralihkan oleh “sekadar” satu menit scroll Instagram Reels yang tanpa sadar berujung pada satu jam berlalu tanpa hasil yang berarti. Kondisi ini bukan hanya dialami oleh satu atau dua orang, melainkan telah menjadi fenomena umum di kalangan mahasiswa, terutama generasi yang tumbuh bersama dengan perkembangan teknologi digital.

Dari sudut pandang psikologi, ketergantungan berlebihan pada AI dan distraksi berkelanjutan dari media sosial dapat melemahkan apa yang disebut sebagai executive function yakni kemampuan otak untuk fokus, merencanakan, dan mengambil keputusan secara sadar dan terukur. Ketika seseorang terbiasa memperoleh jawaban instan tanpa melalui proses berpikir mendalam, kemampuan berpikir kritis dan reflektif secara perlahan akan mengalami penurunan.

Lebih lanjut, notifikasi yang terus-menerus berdatangan memicu apa yang dikenal sebagai dopamine hit, sebuah respons neurologis yang menciptakan siklus kecanduan digital. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat menurunkan toleransi seseorang terhadap aktivitas yang memerlukan konsentrasi tinggi dan kesabaran, seperti membaca buku dengan seksama atau mendengarkan podcast edukatif berdurasi panjang.

Dampak yang lebih serius adalah terganggunya regulasi emosi, menurunnya kesadaran diri (self-awareness), serta melemahnya motivasi intrinsik dalam belajar. Padahal, nilai-nilai tersebut justru menjadi penekanan utama dalam tradisi pesantren, seperti keikhlasan dalam menuntut ilmu dan kesungguhan dalam mujahadah.

Teknologi, termasuk AI, memang memberikan kemudahan yang luar biasa dalam kehidupan sehari-hari. Namun justru karena kehebatan teknologi tersebut, manusia dituntut untuk lebih kuat dalam menjaga niat dan integritas diri. Kita mungkin bisa menjadi lebih pintar dan efisien berkat bantuan AI, tetapi akhlak mulia, adab yang baik, dan kesadaran spiritual tetap sepenuhnya menjadi domain dan tanggung jawab manusia.

Nilai-nilai kepesantrenan yang telah teruji oleh waktu, seperti ikhlas (belajar karena Allah, bukan semata-mata karena target atau tenggat waktu), tawadhu' (tidak merasa lebih tinggi meskipun memiliki akses terhadap berbagai kemudahan teknologi), dan mujahadah (bersungguh-sungguh dalam perjuangan menuntut ilmu) adalah kualitas-kualitas mulia yang tidak bisa diprogramkan oleh mesin manapun. Nilai-nilai tersebut tumbuh dari kedalaman hati, dari kesadaran diri yang matang, dan dari kebiasaan baik yang dibentuk secara konsisten melalui latihan spiritual yang berkelanjutan.

Ketika AI dapat melakukan hampir segalanya, tugas fundamental manusia adalah menjaga kemurnian niat, menjunjung tinggi etika, dan terus mencari makna yang lebih dalam dari setiap yang dipelajari dan dikerjakan. AI mungkin mampu memberikan jawaban yang akurat dan cepat, tetapi hanya manusia yang dapat memahami konteks, memaknai secara mendalam, dan mengambil hikmah dari informasi tersebut.

AI bisa merangkai kata-kata menjadi kalimat yang indah dan terstruktur, namun hanya manusia yang dapat dan harus bertanggung jawab sepenuhnya atas apa yang ia tulis, pikirkan, putuskan, dan sebarkan kepada sesama. Tanggung jawab moral dan spiritual ini tidak bisa dialihkan kepada teknologi, bagaimanapun canggihnya. Yang paling penting adalah bagaimana kita dapat memanfaatkan AI sebagai alat bantu yang mempermudah pekerjaan, bukan sebagai pengganti kemampuan berpikir dan spiritual kita. AI dapat membantu menganalisis data, menyusun draft tulisan, atau memberikan rekomendasi, tetapi keputusan akhir, pertimbangan etis, dan tanggung jawab moral tetap berada di tangan manusia.

Tulisan ini disusun dengan tulus sebagai bentuk kepedulian dan kegelisahan pribadi penulis terhadap diri sendiri dan rekan-rekan mahasiswa, terutama sesama alumni pesantren yang sedang mengalami masa transisi dari lingkungan pesantren menuju kehidupan masyarakat yang lebih dinamis dan penuh tantangan teknologi. Semoga dapat menjadi bahan renungan bersama dalam menyikapi perkembangan zaman dengan bijaksana.


Penulis: Rika Amalia

Editor: Nur Hastina (Pemateri Pelatihan Jurnalistik 2025)

Posting Komentar

0 Komentar