Di era digital saat ini,
kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) telah mengubah
lanskap kehidupan manusia secara drastis. Banyak pekerjaan yang dulunya memerlukan
waktu berjam-jam kini dapat diselesaikan dalam hitungan menit. AI mampu menulis
esai dengan gaya yang beragam, menjawab soal ujian dengan tingkat akurasi
tinggi, bahkan membantu menyusun proposal penelitian yang kompleks. Segalanya
terasa begitu cepat, instan, dan nyaris tanpa memerlukan usaha besar dari
manusia. Bahkan dalam proses penulisan artikel ini, AI turut berperan dalam
penentuan topik dan struktur penulisan. Fenomena ini kemudian memunculkan
pertanyaan mendasar yang patut kita renungkan bersama: jika AI dapat melakukan
hampir segalanya, apa yang sebenarnya masih menjadi tugas dan tanggung jawab
manusia yang tersisa?
Sering kali, kita terlalu
terpesona oleh kecanggihan teknologi hingga lupa akan dampak sampingannya.
Tanpa sadar, kemudahan akses informasi justru membuat kita semakin mudah
terdistraksi. Satu tab browser membuka ChatGPT untuk mengerjakan tugas,
sementara tab lainnya terbuka TikTok yang menampilkan video-video pendek yang
menarik perhatian. Niat awal untuk membaca e-book atau jurnal akademik
seringkali terganggu oleh notifikasi Instagram yang terus berdatangan. Yang
lebih ironis lagi, ketika sudah berniat serius menyelesaikan tugas kuliah, kita
malah teralihkan oleh “sekadar” satu menit scroll Instagram Reels yang tanpa
sadar berujung pada satu jam berlalu tanpa hasil yang berarti. Kondisi ini
bukan hanya dialami oleh satu atau dua orang, melainkan telah menjadi fenomena
umum di kalangan mahasiswa, terutama generasi yang tumbuh bersama dengan
perkembangan teknologi digital.
Dari sudut pandang psikologi,
ketergantungan berlebihan pada AI dan distraksi berkelanjutan dari media sosial
dapat melemahkan apa yang disebut sebagai executive function yakni
kemampuan otak untuk fokus, merencanakan, dan mengambil keputusan secara sadar
dan terukur. Ketika seseorang terbiasa memperoleh jawaban instan tanpa melalui
proses berpikir mendalam, kemampuan berpikir kritis dan reflektif secara
perlahan akan mengalami penurunan.
Lebih lanjut, notifikasi yang
terus-menerus berdatangan memicu apa yang dikenal sebagai dopamine hit, sebuah
respons neurologis yang menciptakan siklus kecanduan digital. Dalam jangka
panjang, kondisi ini dapat menurunkan toleransi seseorang terhadap aktivitas
yang memerlukan konsentrasi tinggi dan kesabaran, seperti membaca buku dengan
seksama atau mendengarkan podcast edukatif berdurasi panjang.
Dampak yang lebih serius adalah
terganggunya regulasi emosi, menurunnya kesadaran diri (self-awareness),
serta melemahnya motivasi intrinsik dalam belajar. Padahal, nilai-nilai
tersebut justru menjadi penekanan utama dalam tradisi pesantren, seperti
keikhlasan dalam menuntut ilmu dan kesungguhan dalam mujahadah.
Teknologi, termasuk AI, memang
memberikan kemudahan yang luar biasa dalam kehidupan sehari-hari. Namun justru
karena kehebatan teknologi tersebut, manusia dituntut untuk lebih kuat dalam
menjaga niat dan integritas diri. Kita mungkin bisa menjadi lebih pintar dan
efisien berkat bantuan AI, tetapi akhlak mulia, adab yang baik, dan kesadaran
spiritual tetap sepenuhnya menjadi domain dan tanggung jawab manusia.
Nilai-nilai kepesantrenan yang
telah teruji oleh waktu, seperti ikhlas (belajar karena Allah, bukan
semata-mata karena target atau tenggat waktu), tawadhu' (tidak merasa lebih
tinggi meskipun memiliki akses terhadap berbagai kemudahan teknologi), dan mujahadah
(bersungguh-sungguh dalam perjuangan menuntut ilmu) adalah kualitas-kualitas
mulia yang tidak bisa diprogramkan oleh mesin manapun. Nilai-nilai tersebut
tumbuh dari kedalaman hati, dari kesadaran diri yang matang, dan dari kebiasaan
baik yang dibentuk secara konsisten melalui latihan spiritual yang
berkelanjutan.
Ketika AI dapat melakukan
hampir segalanya, tugas fundamental manusia adalah menjaga kemurnian niat,
menjunjung tinggi etika, dan terus mencari makna yang lebih dalam dari setiap
yang dipelajari dan dikerjakan. AI mungkin mampu memberikan jawaban yang akurat
dan cepat, tetapi hanya manusia yang dapat memahami konteks, memaknai secara
mendalam, dan mengambil hikmah dari informasi tersebut.
AI bisa merangkai kata-kata
menjadi kalimat yang indah dan terstruktur, namun hanya manusia yang dapat dan
harus bertanggung jawab sepenuhnya atas apa yang ia tulis, pikirkan, putuskan,
dan sebarkan kepada sesama. Tanggung jawab moral dan spiritual ini tidak bisa
dialihkan kepada teknologi, bagaimanapun canggihnya. Yang paling penting adalah
bagaimana kita dapat memanfaatkan AI sebagai alat bantu yang mempermudah
pekerjaan, bukan sebagai pengganti kemampuan berpikir dan spiritual kita. AI
dapat membantu menganalisis data, menyusun draft tulisan, atau memberikan
rekomendasi, tetapi keputusan akhir, pertimbangan etis, dan tanggung jawab
moral tetap berada di tangan manusia.
Tulisan ini disusun dengan
tulus sebagai bentuk kepedulian dan kegelisahan pribadi penulis terhadap diri sendiri
dan rekan-rekan mahasiswa, terutama sesama alumni pesantren yang sedang
mengalami masa transisi dari lingkungan pesantren menuju kehidupan masyarakat
yang lebih dinamis dan penuh tantangan teknologi. Semoga dapat menjadi bahan
renungan bersama dalam menyikapi perkembangan zaman dengan bijaksana.
Editor: Nur Hastina (Pemateri Pelatihan Jurnalistik 2025)
0 Komentar