Oleh:Muhammad Ismail Saredda (Awardee PBSB Tahun 2022)
Samata, 6 Juni 2025 — Di balik citra ketennagan spiritual dan pagar tinggi , pondok pesantren menyimpan kenyataan pahit: semakin banyak santri yang diam-diam bertarung dengan gangguan kecemasan (anxiety disorders). Ketika dunia luar menganggap para santri hidup dalam kedamaian, kenyataannya, banyak dari mereka sedang berjuang dalam keheningan, antara idealisme Pendidikan agama dan tekanan realitas kehidupan.
Sumber: IT, Fotografi dan Penerbitan OSAI, 2022
Lebih mencengangkan
lagi, gangguan kecemasan bukan hanya terjadi di kota besar atau sekolah umum.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa santri di pondok pesantren pun
mengalami tekanan luar biasa, yang bahkan lebih kompleks dibandingkan
remaja pada umumnya.
“Santri tidak hanya
dituntut untuk unggul secara akademik dan religius, tapi juga harus mampu hidup
mandiri, jauh dari keluarga, serta mengikuti rutinitas padat setiap hari,” ungkap Misbahuddin
(2024) dalam penelitiannya.
Di Pondok Pesantren Santi Asromo, misalnya, sebanyak 66,1% santri mengalami kecemasan berat (Wahyuniar, 2024). Angka ini mencerminkan betapa gangguan kecemasan telah menjadi “penyakit sunyi” di balik dinding pesantren.
Overthinking Berjamaah, Dari Canda
Menjadi Kenyataan
munculnya fenomena “overthinking
berjamaah” di kalangan santri juga menjadi candaan di kalangan malaikat
kecilnya Tuhan untuk menggambarkan betapa banyaknya tekanan yang harus
dipikirkan: nilai, hafalan, tugas sekolah, ekspektasi guru dan orang tua, serta
konflik dengan teman sebayayang dapat melukai kepercayaan diri.
Media sosial memberikan
kontribusi pada kondisi ini. Meski penggunaan gadget dibatasi, tetap saja
santri punya cara untuk “mengintip” dunia luar — dan justru membandingkan diri
dengan pencapaian orang lain. Rasa tidak cukup baik menjadi beban
psikologis tersendiri yang seringkali memicu kecemasan, bahkan depresi.
“Aku Takut Gagal, Tapi
Tak Tahu Harus Ngomong ke Siapa”
Kalimat ini kerap terdengar dari mulut para santri yang merasa tidak punya ruang aman untuk bercerita. Banyak dari mereka takut dianggap “kurang iman” jika mengeluh. Padahal, menurut WHO (2024), gangguan kecemasan adalah hal nyata dan bukan kelemahan spiritual.
Di tingkat
regional, Sulawesi Selatan tercatat berada di posisi ke-4 nasional dalam
prevalensi masalah kesehatan jiwa, yakni sebesar 2,7% (Survei Kesehatan
Indonesia, 2024). Angka ini memperkuat urgensi perhatian terhadap kesehatan
mental di kalangan remaja, terutama di institusi pendidikan berbasis asrama
seperti pesantren.
Gambar. 1 Suasana Upacara Hari Santri Nasional Tahun
2022
Sumber: IT, Fotografi dan Penerbitan OSAI, 2022
Pesantren: Ruang Aman
Jiwa Bukan Sekedar Ruang Ilmu
Sudah saatnya pesantren
tidak hanya menjadi tempat mencetak ulama dan pemimpin masa depan, tetapi juga
menjadi ruang aman untuk tumbuh dan sembuh. Perlu ada pendampingan
psikologis, forum curhat yang sehat, serta pendekatan pendidikan yang lebih
manusiawi.
Di balik jubah putih dan
senyum ramah para santri, ada jiwa-jiwa yang sedang berjuang keras melawan
sunyi, cemas, dan rasa tak berdaya. Kita perlu
mengubah paradigma,s Santri bukan hanya pelajar agama yang kuat spiritual,
mereka juga remaja biasa yang bisa lelah, cemas, dan butuh dipahami.
Jika kita ingin mencetak generasi ulama yang kuat, maka jiwa mereka pun
harus dijaga, bukan hanya iman dan akalnya.
Apa
kabar mental santri hari ini?
0 Komentar