Oleh: Rizqah Dilla Yuniarti (Awardee PBSB Tahun 2022)
Samata, 12 Juni 2025 — Di balik ketenangan spiritual dan aktivitas religius yang teratur, pesantren menyimpan persoalan kesehatan yang nyaris tak terdengar: skabies. Penyakit kulit akibat tungau Sarcoptes scabiei ini menyebar diam-diam dari satu tubuh ke tubuh lain, melalui kontak kulit langsung, pakaian, handuk, hingga sajadah yang digunakan bersama. Bukan hanya mengganggu tidur malam para santri, skabies kini menjadi cermin dari kondisi hunian yang terlalu padat dan lemahnya kesadaran akan kebersihan pribadi.
Fenomena
ini sejalan dengan laporan Kementerian Kesehatan RI, yang mencatat bahwa
pada tahun 2023, prevalensi skabies di Indonesia berkisar antara 4,60%
hingga 12,95%, menjadikannya penyakit kulit ketiga terbanyak setelah
dermatitis dan infeksi jamur. Lebih dari itu, skabies paling sering menyerang anak-anak
dan remaja di bawah usia 15 tahun, kelompok usia yang mayoritas tinggal di
lingkungan komunal seperti pesantren dan asrama.
Salah
satu penelitian yang dilakukan di Kabupaten Bone mencatat bahwa sebanyak
87,5% santri mengalami keluhan gatal berulang, dengan skabies sebagai
penyebab terbanyak (Fhirastika, 2020). Di pesantren lain, peningkatan kasus
bahkan lebih drastis: hanya dalam dua bulan, jumlah penderita skabies melonjak
dari 8 menjadi 76 orang (Savitri, 2024). Kondisi ini menyebar cepat, namun
sering diabaikan, menjadikannya semacam "penyakit sunyi" di balik
dinding pesantren yang menurunkan kualitas hidup para santri.
Penelitian
Noor Ayu Wandira (2022) mengungkap bahwa hanya 47% santri memiliki kebiasaan
personal hygiene yang baik, sementara 55,2% di antaranya mengalami
suspect skabies. Kasus ini berkorelasi kuat dengan buruknya kebersihan
diri, kelembaban dan ventilasi ruangan yang tidak memadai, serta minimnya
dukungan dari pengelola pesantren terhadap upaya preventif.
Situasi
ini menunjukkan bahwa lingkungan pesantren yang padat, rutinitas yang ketat,
dan kebiasaan hidup bersama tanpa batasan fisik menjadi faktor utama penyebaran
skabies. Di sisi lain, banyak santri memilih diam, enggan melapor karena takut
dianggap jorok atau kurang menjaga kebersihan. Padahal, infeksi ini sangat
mudah menular bahkan lewat kasur, pakaian, atau benda sehari-hari yang
digunakan bersama.
Skabies
bukan hanya masalah kulit. Ia mengganggu tidur, menurunkan konsentrasi, dan
bahkan memicu rasa malu atau tidak nyaman sosial. Banyak santri memilih
diam, enggan melapor karena takut dianggap jorok atau kurang menjaga kebersihan,
padahal infeksi tungau bisa menular bahkan lewat sprei, pakaian, dan sajadah.
Saatnya
Pesantren Bersih Luar Dalam
Sudah
saatnya pesantren tidak hanya menjadi pusat pendidikan ruhani, tetapi juga
menjadi ruang aman secara fisik dan psikologis bagi para santri.
Penataan ulang kamar agar tidak terlalu padat, edukasi rutin tentang pentingnya
mandi dan mencuci pakaian, serta pengadaan fasilitas kebersihan yang memadai
harus menjadi prioritas. Pengawasan dan peran aktif pengasuh dalam mendampingi
kebiasaan bersih santri juga tak kalah penting.
Karena
di balik jubah putih dan lantunan doa para santri, ada tubuh-tubuh yang gatal,
kurang tidur, dan diam-diam kelelahan. Gatal yang tak terlihat bukan berarti
tak nyata. Ia adalah sinyal dari tubuh bahwa ada yang perlu segera dibenahi.
Pesantren
selama ini dikenal sebagai tempat menimba ilmu dan membentuk keimanan. Kini,
sudah saatnya dikenal juga sebagai lingkungan yang sehat—lahir dan batin.
“Karena
iman yang kuat butuh tubuh yang sehat—dan gatal bukanlah bagian dari ujian”.
0 Komentar